Karyawan Freeport Khawatir di-PHK
(Sabtu,
21 Desember 2013)
TIMIKA,
KOMPAS.com – PT Freeport Indonesia pengelola tambang emas
dan tembaga terbesar di dunia, kemungkinan bakal melakukan pemutusan
hubungan kerja (PHK) masal, terkait implementasi Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan batu bara (Minerba).
Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Serikat Pekerja - Kimia Energi dan Pertambangan (SP-KEP) Kabupaten Mimika, Virgo Solossa mengatakan dalam undang-undang minerba tersebut mengharuskan 99 persen hasil tambang tembaga dan emas serta logam ikutan lainnya harus dimurnikan di dalam negeri.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Serikat Pekerja - Kimia Energi dan Pertambangan (SP-KEP) Kabupaten Mimika, Virgo Solossa mengatakan dalam undang-undang minerba tersebut mengharuskan 99 persen hasil tambang tembaga dan emas serta logam ikutan lainnya harus dimurnikan di dalam negeri.
Menurut
Virgo, saat ini 30 hingga 40 persen konsentrat dari PT Freeport
Indonesia sudah dikirim ke pabrik pemurnian (smelter) di Gresik, Jawa
Timur. Sementara selebihnya menurut dia masih diekspor ke luar negeri
karena kapasitas pabrik pemurnian di Gresik, maksimal menampung 40
persen kuota produksi dari Freeport.
“Itupun
harus berbagi dengan Newmont, sehingga Freeport hanya mengirim 30
persen sementara 10 persen dipasok dari Newmont,” ungkap Virgo yang
ditemui di Sekretariat DPC SPSI, Kamis (19/12/2013) malam.
Virgo
khawatir jika pemerintah pusat tidak memberi kelonggaran, Freeport
akan menurunkan kuota produksi hingga tersisa 30 hingga 40 persen
saja. Dengan konsekuensi seperti ini menurut dia, selaku pimpinan
cabang SPSI yang membawahi puluhan serikat pekerja yang sebagian
besar berada di wilayah kerja tambang Freeport, khawatir akan
terjadinya pemutusan kerja massal.
“Dengan penurunan produksi sekitar 60 hingga 70 persen, areal pertambangan tidak akan membutuhkan orang banyak lagi. Maka sudah barang tentu sekitar 18 hingga 20 ribu pekerja yang akan di PHK dari total 31 ribu pekerja saat ini,” jelas Virgo.
“Dengan penurunan produksi sekitar 60 hingga 70 persen, areal pertambangan tidak akan membutuhkan orang banyak lagi. Maka sudah barang tentu sekitar 18 hingga 20 ribu pekerja yang akan di PHK dari total 31 ribu pekerja saat ini,” jelas Virgo.
analisa:
Adanya
penurunan jumlah produksi yang dilakukan oleh Freeport, memungkinkan
perusahaan tersebut harus melakukan pemutusan kerja massal. Pekerja
di Freeport khawatir akan hal tersebut karena apabila perusahaan
menurunkan jumlah produksi sekitar 60 sampa 70 persen, maka
perusahaan tidak membutuhkan banyak tenaga kerja. Penduduk di sekitar
daerah Freeport mayoritas bekerja di perusahaan tersebut. Bagi
mereka, mata pencaharian tersebut telah menjadi kebutuhan. Mereka
mengenal pekerjaan tersebut karena telah berada dilingkungan Freeport
untuk waktu yang lama. Dan apabila Freeport melakukan PHK secara
massal, pekerja tersebut akan kesulitan dalam mencari pekerjaan,
terlebih lagi pekerja yang di PHK dalam jumlah yang banyak.
Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) memiliki beberapa dampak yang negatif bagi
perekonomian Indonesia. Telah kita ketahui bahwa tujuan akhir
perekonomian suatu negara pada dasarnya adalah meningkatkan
kemakmuran masyarakat dan pertumbuhan ekonomi agar stabil dan dalam
keadaan naik terus. Dan apabila terjadi pengangguran dalam jumlah
yang banyak, maka hal tersebut akan berdampak negatif bagi
pembangunan perekonomian di Indonesia. Dengan adanya PHK secara
massal, maka akan menyebabkan pekerja akan kehilangan kemakmuran yang
hendak dicapai, pajak sebagai budgetair negara akan berkurang,
menyebabkan investasi dan saving negara menurun dikarenakan jumlah
produksi yang terbatas. Kemudian, PHK yang akan menyebabkan adanya
pengangguran akan berdampak negatif pula bagi individu yang
mengalaminya, seperti hilangnya mata pencaharian, hilangnya
keterlampilan bekerja, meningkatnya angka kriminalitas, menimbulkan
ketidakstabilan sosial dan politik, serta meningkatkan angka
kemiskinan.
Dari
dampak negatif diatas, pemerintah hendaknya memberikan kelonggaran
terhadap Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan batu bara (Minerba) yang isinya menyatakan bahwa
mengharuskan 99 persen hasil tambang tembaga dan emas serta logam
ikutan lainnya harus dimurnikan di dalam negeri. Sedangkan negara
tidak dapat menampung banyak produksi hanya berkisar 40 persen saja,
sehingga dengan kata lain, perusahaan harus menurunkan tingkat
produksi. Dengan adanya kelonggaran dari pemerintah pusat, diharapkan
PHK secara massal tidak terjadi untuk pekerja di Freeport.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar