Senin, 28 Oktober 2013

Tulisan Bahasa Indonesia

Rupiah Mulai Menguat

            TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perlahan, kurs rupiah mulai menguat dan kembali memasuki level 10.000-an.Sejumlah bank juga mulai membeli dollar AS di kisaran Rp 10.800-an. Sebagai contoh, kemarin Bank Mandiri mematok kurs beli dollar AS di level Rp 10.850-Rp 10.903. Secara umum, penguatan rupiah juga tecermin pada kurs tengah Bank Indonesia (BI) yang menguat 1,12 persen ke Rp 11.142 per dollar AS. Pun begitu di pasar spot, rupiah menguat 1,21 persen ke Rp 11.015 per dollar AS bahkan sempat di level Rp 10.800 per dollar AS.
            Kalau dihitung dari level tertinggi rupiah di Rp 11.649 per dollar AS pada 5 September 2013, rupiah sudah menguat 5,44 persen. Tapi sejak awal tahun, rupiah masih tercatat melemah 12,48 persen.
            Pengamat pasar uang, Farial Anwar memperkirakan, sampai akhir tahun nanti, rupiah bisa menguat ke kisaran 10.800-11.200, terpicu membaiknya ekonomi dalam negeri. "Asing sudah melirik pasar keuangan kita, itu positif bagi rupiah," katanya. Saat bersamaan, dollar AS memang dalam tren melemah terhadap nyaris semua mata uang. Reny Eka Putri, analis pasar uang Bank Mandiri, menilai, upaya BI dan pemerintah, seperti kenaikan suku bunga dan fasilitas simpanan BI serta perjanjian bilateral swap, mulai membawa hasil.
            Albertus Christian, analis Monex Investindo mengatakan, pelemahan rupiah selama ini dipicu spekulasi pengurangan stimulus di AS sehingga terjadi capital outflow. Faktor dari dalam negeri seperti meningkatnya inflasi, jurang defisit neraca perdagangan yang melebar, pengurangan subsidi bahan bakar juga menekan rupiah.
            Kini, beberapa kekhawatiran itu sudah hilang. Sebut saja inflasi mulai terkendali dan posisi neraca perdagangan mulai surplus. Alhasil,rupiah pun bangkit. Namun ke depan, bayang-bayang tahun pemilihan umum menghantui rupiah. Apalagi, menurut Albertus, pasar belum melihat calon presiden yang sesuai harapan, termasuk visi ekonomi sang calon presiden.
            Faktor lain yang akan sangat mempengaruhi arah rupiah adalah pengurangan (tapering off) stimulus moneter Amerika Serikat. Memang, saat ini Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve) menunda pengurangan stimulus itu hingga Maret 2014. Tapi, penundaan itu tal lebih seperti bom waktu. Jika AS mengurangi stimulus, rupiah akan kembali terkapar.
            Jadi, BI dan pemerintah bak berpacu dengan waktu yang amat sempit untuk menyiapkan regulasi untuk mengantisipasi itu semua. Dus, segeralah memanfaatkan momentum penguatan ini untuk bersiaga, bukan berleha-leha.(Agus Triyono, Febrina Ratna Iskana/Kontan)
analisa:
            Uang telah dianggap oleh semua orang sebagai kebutuhan utama. Semua orang bekerja demi mendapatkan uang. Pada kenyataanya, negara juga menngenggap bahwa uaang itu adalah kebutuhan yang penting. Dengan melemahnya nilai rupiah yang terjadi baru-baru ini, menyebabkan berbagai macam dampak yang negatif yang terjadi. Seperti Utang Luar Negeri yang kian menipis dan terjadinya ketidak seimbangan pada neraca perdagangan. Dalam analisa oleh beberapa pengamat artikel diatas mengatakan bahwa rupiah bisa menguat apabila keadaan ekonomi membaik. Indonesia sendiri harus memperhatikan keadaan ekonomi yang sedang terjadi, pasang surut yang dialami, dan berapa banyak pendapatan yang didapat melalui kegiatan ekonomi tersebut. Apabila keadaan ekonomi Indonesia stabil maka keadaan nilai rupiah akan stabil pula. Ada beberapa faktor yang menyebabkan nilai rupiah melemah. Pertama, faktor luar negeri. Nilai rupiah melemah karena dipicu spekulasi pengurangan stimulus di Amerika Serikat sehingga terjadi capital outflow. Capital outflow adalah aliran arus modal keluar yang disebabkan dari beberapa faktor ekonomi atau alasan politik tetapi dapat sering saling berhubungan. Kedua, faktor dalam negeri. Meningkatnya inflasi, jurang defisit neraca perdagangan yang melebar, dan pengurangan subsidi bahan bakar.
            Indonesia penting menjaga nilai tukar rupiah agar tetap naik. Ada beberapa alasan mengapa nilai tukar rupiah harus tetap naik. Pertama, jika nilai rupiah kuat, maka akan mengurangi tekanan inflasi. Kedua, produk-produk ekspor Indonesia akan mendapat persaingan (dari sisi harga) yang lebih ketat dari produk yang berasal dari negara dengan apresiasi mata uang lebih rendah dari Indonesia, seperti Malaysia, Thailand, dan China. Ketiga, dengan nilai tukar rupiah yang kuat, membuat industri penghasil barang-barang konsumsi dengan orientasi pasar domestik akan mendapatkan persaingan yang lebih ketat dari barang-barang konsumsi impor.

            Dari artikel yang saya ambil dari Tribunnews (Sabtu, 26 Oktober 2013)  dijelaskan bahwa nilai tukar rupiah membaik dan bangkit, dilihat dari berkurangnya inflasi dan neraca perdagangan yang mengalami surplus. Dalam kenyataanya, pemimpin negara berpengaruh terhadap lemah tidaknya nilai tukar rupiah. Menurut pendapat saya, pemerintah tidak perlu harus bekerja keras untuk mempertahankan nilai tukar, tapi cenderung menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan-kebijakan yang mendukung surplus neraca berjalan, sehingga nilai rupiah secara otomatis menjadi kuat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar